Pada Februari 1719, Susuhunan Pakubuwana I dari Mataram mangkat Penggantinya adalah Mas Suryanata putra ke 13 dari permaisuri Ratu Mas Blitar bergelar Amangkurat IV (1719-1726). Dua kakaknya, Pangeran Purbaya (Mas Sasongko, putra ke 4) dan Pangeran Blitar (Mas Sudhomo, putra ke 11) tidak terima terhadap pengangkatan tersebut dan menyerang Kertasura yang didukung kalangan agama. Sang Paman Arya Mataram dan Arya Mangkunegara (putra sulung Amangkurat IV) pun ikut bergabung dengan mereka.
Pada saat yang sama di tahun 1719 Pangeran Arya Dipanegara (Mas Papak, putra ke 10) kakak Amangkurat IV yang sedang diberi tugas oleh Pakubuwana I untuk menangkap Arya Jayapuspita, pemberontak dari Surabaya ikut menolak pengangkan tersebut dan bergabung dengan pemberontak Arya Jayapuspita dan mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Panembahan Herucakra yang beristana di Madiun (Kelak gelar dan jejaknya diikuti oleh putra HB lll, Pangeran Dipanegara dalam perang Jawa 1825-1830).
Dikisahkan sebelumnya pada tahun 1714 Jayapuspita dari Surabaya menolak menghadap ke Kartasura. Ia menyusun pemberontakan sebagai pembalasan atas kematian Jangrana, kakaknya. Daerah-daerah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Lamongan jatuh ke tangannya.
Pada tahun 1717 gabungan pasukan VOC dan Kartasura berangkat menyerbu Surabaya. Mereka bermarkas di desa Sepanjang. Perang besar terjadi. Jayapuspita mendapat bantuan dari Bali. Dalam perang tahun 1718 adik Jayapuspita, yaitu Ngabehi Jangrana (alias Jangrana III) gugur. Jayapuspita akhirnya menyingkir ke desa Japan (dekat Mojokerto) bersama kedua adiknya yang masih hidup, yaitu panji Surengrana (Bupati Lamongan) dan Panji Kartayuda.
Sementara itu di Kartasura, dua kakak Amangkurat IV Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang didukung para tokoh agama melakukan serangan bersama ke istana. Tetapi serangan bersama tersebut berhasil dipukul mundur oleh Garnisun VOC dan memaksa mereka mundur meninggalkan Kartasura.
Pangeran Blitar dan kakaknya Pangeran Purbaya berinisiatif membangun kembali kejayaan Kraton Karta, bekas istana Sultan Agung dipinggir tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Karta Sekar atau Kartasari.
Adapun Arya Mataram, sang paman memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pesisir. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram mulai bergerak menyerang dan menguasai wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela. Sementara Blora berada dibawah kekuasaan Pangeran Arya Dipanegara yang berpusat di Madiun.
Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura yang dikenal dengan Perang Suksesi Jawa II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah dalam lima kubu. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak Pangeran Purbaya, sebagian memihak Pangeran Arya Dipanegara Madiun dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram di Pati.
Dalam perjalanan selanjutnya Pangeran Blitar yang bermarkas di Kerta berhasil menarik hati Jayapuspita (sekutu awal Dipanegara) untuk memihak dan bergabung kepadanya. Jayapuspita justru menggunakan kekuatannta di Mojokerto untuk menggempur kubu Arya Dipanegara di Madiun. Arya Dipanegara berhasil dipukul mundur dan menyingkir ke Baturatna.
Di Baturatna ia ganti dikejar-kejar pasukan Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara memilih bergabung dengan adik dan kakaknya Pangeran Blitar dan Pangeran Blitar di Karta Sekar sebelah barat bekas Kraton Pleret. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan, sedangkan Pangeran Purbaya kakaknya sebagai penasihat bergelar Panembahan.
Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura yang dibantu VOC bergerak menumpas paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Tentara gabungan Kertasura dan VOC akhirnya berhasil memukul mundur dan menangkap sang Paman yang selanjutnya dijatuhi hukuman gantung di Jepara.
Selanjutnya Amangkurat IV di Jepara meminta bantuan kepada VOC di Semarang untuk mengirim serdadu tempurnya ke Kartasura musuh terbesarnya di Karta Sekar. Patih Cakrajaya dan Admiral Bergman dikirim Amangkurat IV untuk memimpin pasukan gabungan VOC-Kartasura. Pada bulan November 1720 pasukan koalisi Kartasura-VOC mulai bergerak menyerang Mataram di Karta Sekar.
Kota Karta Sekar berhasil dihancurkan pasukan koalisi Kertasura-VOC. Kelompok Pangeran Blitar meninggalkan Karta Sekar ke arah timur. Di tengah hiruk pikuk peperangan Raden Bagus Cemeti saudaranya Raden Bagus Sosro, Tumenggung Suryadi Kusumo dari Kediri dan Mbah Bekel Wijoyo menyingkir ke barat sampai di daerah Srati, Ayah Kebumen Selatan sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di makam Srati diatas Pantai Pecaron Ayah.
Perjuangan Jayapuspita yang mengangkat dirinya dengan gelar Adipati Panatagama berakhir ketika ia sakit keras dan meninggal di Japan tahun 1720. Pengganti Jayapuspita yaitu Adipati Natapura bergabung dengan pasukan Pangeran Purbaya. Perang Surabaya berakhir dengan menyerahnya Adipati Natapura pada tahun 1722.
Adapun Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang. Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar.
Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Ia memiliki seorang putri yang kelak diperistri oleh Pakubuwana II putra Amangkurat IV dan menurunkan Pakubuwana III raja Surakarta yang memerintah tahun 1732-1788.
Adapun Pangeran Arya Dipanegara Herucakra dibuang ke Tanjung Harapan diujung paling selatan Benua Afrika. Dalam perjalanan yang sangat melelahkan menuju Tanjung Harapan, dua istri Dipanagara, tiga anaknya, serta dua pengikut meninggal di kapal. Ketika kapalnya menepi di Tanjung Harapan, dia telah kehilangan seluruh anak yang menyertainya. Adapun Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka.
Seorang abdi pekatik yang sangat dekat dengan Susuhunan Amangkurat IV bernama Wongso Dipo, karena jasanya telah menyelamatkan nyawa sang Raja ketika terjadi peperangan hebat melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya di Karta Sekar, akhirnya diangkat menjadi Bupati Grobogan dan bergelar Tumenggung Martopuro.
Amangkurat IV kemudian berselisih dengan Cakraningrat IV bupati Madura (barat) yang telah berjasa ikut memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kartasura yang dianggapnya bobrok.
Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini memberontak terhadap Pakubuwana II (Raden Mas Probosuyoso), pengganti Amangkurat IV yang masih berusia 15 tahun.
Amangkurat IV sendiri jatuh sakit pada bulan Maret 1726 karena diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya (konon dilakukan oleh menantunya sendiri Cakraningrat IV), Amangkurat IV lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726 dimakamkan di Imogiri. Kelak pasca wafatnya Amangkurat IV meletus kembali Perang Tahta Jawa ke 3 karena intervensi Belanda dan ketidakpuasan para Pangeran yang pada membelah kekuasan Mararam.
M. Anang Al Faiz, Perang Suksesi Jawa 11 (1719-1723) Siasat Amangkurat 1V Melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya
Totok Supriyanto, Blora dalam Babad Kartasura,
Joko Noveri, R.A.A Jayapuspita Dalam Perang Surabaya
Komentar yang terbit pada artikel "Tahta Jawa Kedua yg Memilukan"